Bintang Masif di Nebula Tarantula
Penelitian serupa juga dilakukan oleh tim astronom yang dipimpin Fabian Schneider dari Universitas Oxford, UK. Yang diamati bukan galaksi jauh tapi sebuah palung kelahiran bintang pada galaksi tetangga.
30 Doradus a.k.a Nebula Tarantula yang berada di Awan Magellan Besar ini diisi oleh banyak sekali gugus bintang. Setidaknya ada 800000 bintang dan protobintang di palung kelahiran bintang tersebut.
Untuk mengetahui distribusi massa dan umur bintang di Nebula Tarantula, pengamatan dilakukan dengan Very Large Telescope (VLT) di Observatorium Paranal, Chile. Yang diamati 800 bintang dan 247 di antaranya memiliki massa lebih dari 15 massa Matahari.
Hasil pengamatan di Nebula Tarantula memperlihatkan kesesuaian dengan hasil pengamatan 4 galaksi starburst yang cahayanya datang dari alam semesta dini. Para astronom menemukan 30% bintang di Nebula Tarantula memiliki massa lebih dari 30 massa Matahari. Yang lebih mengejutkan 70% sisanya memiliki massa 60 massa Matahari!
Pembentukan bintang-bintang masif di Nebula Tarantula dimulai 8 juta tahun lalu dan dalam satu juta tahun terakhir laju pembentukan bintang justru turun.
Dari seluruh bintang yang diamati, 15 – 40% bintang memperoleh massanya dari hasil transfer massa bintang pasangan. Transfer massa pad abintang ganda memang merupakan salah satu cara untuk menghasilkan bintang masif dan membuat bintang-bintang tersebut tampak lebih muda dari usia sebenarnya.
Hal menarik lainnya, bintang termasif yang ditemukan di Nebula Tarantula adalah VFTS 1025 (atau R136c). Massanya 203 massa Matahari. Hasil analisis memperlihatkan kalau sebuah bintang bisa terbentuk dengan massa maksimal 300 massa Matahari. Batasan ini melampaui prediksi sebelumnya yakni 150 massa Matahari.
Dari penelitian ini muncul juga pertanyaan apakah pembentukan bintang di 30 Doradus memiliki proses berbeda. Akan tetapi penemuan ini justru menjadi tantangan tersendiri untuk teori evolusi galaksi yang ada saat ini, sekaligus mengubah pemahaman kita akan sejarah pembentukan bintang dan elemen kimia di alam semesta. Seperti apa sejarah kosmos jadi pertanyaan yang perlu dijawab.
Menelusuri Karbon Monoksida di Galaksi Starburst
Untuk mengetahui distribusi massa pada galaksi starburst yang diselimuti debu tentu tidak mudah. Cahaya dalam panjang gelombang ultraungu, optik maupun inframerah terhalang debu. Karena itu pengamatan dilakukan dengan teleskop radio ALMA (Atacama Large Millimeter/submillimeter Array).
Yang dicari pada pengamatan ini adalah karbon monoksida (CO) dengan isotop berbeda. Tujuannyan untuk membandingkan kelimpahan tipe karbon monoksida yang berbeda tersebut. Dengan cara ini kita bisa mengetahui distribusi massa bintang pada galaksi.
Sebuah teknik baru yang mirip penanggalan radiokarbon dikembangkan oleh Zhi-Yu Zhang dari Universita Edinburgh untuk mengukur kelimpahan berbagai tipe karbon monoksida yang ada di empat galaksi jauh yang diselimuti debu tersebut. Teknik penanggalan radiokarbon merupakan metode penanggalan radiometrik yang menggunakan isotop karbon-14 (14C) untuk menentukan usia material bahan organik.
Dalam pegamatan ini, yang diteliti adalah isotop 13C dan 18O. Kedua isotop ini termasuk stabil dan kelimpahannya terus meningkat selama masa hidup galaksi, sebagai akibat proses sintesa oleh reaksi fusi nuklir di dalam bintang.
Mengapa karbon monoksida?
Molekul gas CO ini terbentuk saat nukleosintesis ketika unsur-unsur kimia terbentuk di alam semesta. Tapi, isotop karbon dan oksigen memiliki asal muasal yang berbeda.
Isotop 18O lebih banyak diproduksi pada bintang masif sedangkan 13C justru dihasilkan oleh bintang massa rendah dan menengah. Dengan teknik baru ini para astronom berhasil menembus blokade debu dan mengetahui massa bintang yang ada di galaksi starburst.
Massa bintang merupakan komponen penting untuk menentukan jejak evolusi bintang. Bintang yang masif akan bersinar sangat terang tapi kala hidupnya juga pendek. Pada umumnya bintang-bintang ini berakhir dalam ledakan supernova. Untuk bintang massa menengah seperti Matahari, kecerlangannya lebih redup dibanding bintang masif tapi masa hidupnya jauh lebih panjang sampai miliaran tahun. Apalagi bintang bermassa rendah. Meskipun cahayanya jauh lebih redup, tapi masa hidupnya luar biasa panjang.
Dari distribusi massa bintang pada sebuah galaksi, bisa diketahui elemen kimia yang tersedia untuk pembentukan bintang dan planet baru. Selain itu, jumlah lubang hitam yang akan berkoalisi membentuk lubang hitam supermasif pada pusat galaksi bisa diketahui.
Pengamatan ALMA memberikan informasi menarik. Perbandingan kelimpahan isotop 13CO terhadap C18O sepuluh kali lebih tinggi pada galaksi starburst muda dibanding rasio isotop yang sama pada galaksi lain seperti Bimasakti.
Hasil ini memperlihatkan kalau bintang masif yang sangat panas, terang dan memiliki kala hidup pendek jauh lebih banyak di galaksi starburst. Usia bintang yang pendek membuat bintang-bintang ini mengakhiri hidupnya dengan cepat dalam ledakan supernova. Materi yang terlontar inilah yang jadi cikal bakal bintang generasi berikutnya.
Galaksi Starburst COSMOS-AzTEC-1
Terbentuk 2 miliar tahun setelah Dentuman Besar, pembentukan bintang di galaksi ini tentu masih sangat tinggi. Apalagi, galaksi starburst diduga merupakan leluhur untuk galaksi elips raksasa yang kita kenal saat ini. Tak pelak, galaksi starburst jadi laboratorium terbaik untuk memahami pembentukan dan evolusi galaksi.
Galaksi starburst memang dikenal sebagai galaksi yang laju pembentukan bintangnya 100 lebih tinggi dari Bima Sakti. Tapi, galaksi starburst satu ini memiliki laju kelahiran bintang 1169 kali lebih banyak dari Bima Sakti. Galaksi monster yang jadi sasaran pengamatan ALMA ini diberi kode COSMOS-AzTEC-1.
COSMOS-AzTEC-1. pertama kali ditemukan 10 tahun oleh teleskop James Clerk Maxwell di Hawai`i. Setelah itu, Large Millimeter Telescope (LMT) di Mexico found juga melakukan pengamatan pada galaksi yang sama, dan menemukan sejumlah besar gas karbon monoksida. Penemuan ini sekaligus menyingkap pembentukan bintang besar-besaran di COSMOS-AzTEC-1.
Ketika ALMA (Atacama Large Millimeter/submillimeter Array) diarahkan untuk mengamati COSMOS-AzTEC-1, teleskop radio tersebut jutru menemukan gas molekular di galaksi sangat tidak stabil. Akibatnya, COSMOS-AzTEC-1 berubah jadi monster tak terhentikan yang terus menerus menghasilkan bintang.
Untuk mengungkap misteri ini, ALMA membuat peta sebaran awan molekular dan pergerakan gas dalam jarak 6500 tahun cahaya. Dalam pengamatan ini, ALMA menemukan materi pembentuk bintang yang berkelimpahan di galaksi.
Laju Pembentukan Bintang
ALMA menemukan dua gumpalan awan yang jaraknya ribuan tahun cahaya dari pusat galaksi. Penemuan ini cukup mengejutkan, karena pada galaksi-galaksi starburst yang sangat jauh, bintang terbentuk pada area pusat galaksi.
Bintang terbentuk saat awan gas molekular mengalami keruntuhan gravitasi. Pada awan gas molekular, gaya gravitasi menarik gas ke pusat dan ada tekanan ke luar yang mendorong gas menjauh dari pusat. Gaya gravitasi dan tekanan ini saling menyeimbangkan. Tapi, ketika gravitasi melampaui tekanan, awan gas mengalami keruntuhan dan bintang pun terbentuk.
Ketika bintang masif mencapai akhir hidupnya, bintang akan meledak dan melontarkan gas ke angkasa. Materi bintang yang terlontar inilah yang berkontribusi pada awan gas sebagai materi pembentuk bintang generasi berikutnya. Selain itu, lontaran gas saat ledakan menyebabkan tekanan ke luar pada awan meningkat dan laju pembentukan bintang melambat. Pada kondisi ini, terjadi kesetimbangan antara gravitasi dan tekanan sehingga pembentukan bintang terus berlangsung dalam laju normal.
Pada galaksi COSMOS-AzTEC-1, tekanan justru lebih lemah dibanding gravitasi. Akhirnya tidak terjadi kesetimbangan, dan keruntuhan gravitasi terus terjadi tanpa ada tekanan yang cukup kuat untuk memperlambat pembentukan bintang.
Jika keruntuhan gravitasi terus terjadi, tentu bintang akan terus terbentuk dengan laju yang tinggi. Dalam 100 juta tahun, galaksi COSMOS-AzTEC-1 akan kehabisan materi pembentuk bintang atau 10 kali lebih cepat dibanding galaksi pembentukan bintang lainnya.
Bagaimana awan gas bisa terakumulasi pada jarak yang jauh maupun penyebab gas tidak stabil masih belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi, para astronom menduga kalau hal itu terjadi karena awan molekular tersebut berasal dari merger dua galaksi besar. Atau bisa juga penggabungan galaksi minor maupun aliran gas masif yang sedang bergerak.
Untuk memahami pembentukan galaksi dan evolusinya para astronom melakukan pengamatan galaksi starburst yang terbentuk saat alam semesta masih muda dan pembentukan bintang di Nebula Tarantula.
Pengamatan dilakukan pada empat galaksi jauh yang masih muda dan informasi yang diterima datang dari masa ketika alam semesta masih muda. Keempat galaksi tersebut merupakan galaksi starburst dengan laju kelahiran bintang ratusan sampai ribuan kali lebih tinggi dibanding galaksi lain pada umumnya. Diharapkan dari pengamatan ini para astronom bisa memperoleh informasi terkait pembentukan bintang maupun laju kelahiran mereka di sebuah galaksi.
Galaksi starburst yang diamati merupakan galaksi awal yang terbentuk ketika ketika alam semesta masih sangat muda. Dengan demikian, bintang yang diamati juga bintang generasi awal yang terbentuk dari sisa pembentukan bintang sebelumnya. Itu artinya, tidak banyak babak pembentukan bintang yang sudah dilalui. Jika tidak, senyawa kimia pembentuk bintang akan lebih kompleks dibanding bintang generasi awal.
Tujuannya pengamatan ini untuk mengetahui perbandingan bintang masif yang ada di keempat galaksi tersebut dibanding galaksi lainnya. Dengan mengetahui perbandingan bintang dengan massa berbeda pada sebuah galaksi, kita bisa mengetahui pembentukan dan evolusi galaksi.
Galaksi starburst adalah galaksi tempat bintang-bintang dilahirkan banyak sekali dalam waktu singkat. Biasanya 10.000 kali lebih cepat daripada galaksi normal.
Baru-baru ini astronom menggunakan beberapa teleskop canggih untuk mengintip masa lampau dan mengamati beberapa galaksi dari suatu masa ketika alam semesta masih sangat muda. Saat alam semesta masih sangat muda, galaksi-galaksi tersebut memproduksi bintang secara cepat sekali, yang disebut sebagai starburst. Starburst ini tidak bertahan lama dan inilah yang bikin astronom tertarik: apa yang menghentikan produksi bintang ini?
Starburst adalah sebuah galaksi yang mengalami proses pembentukan bintang yang sangat tinggi, dibandingkan dengan laju pembentukan bintang lain yang biasa terlihat di galaksi. Galaksi starburst ini memiliki sebuah formasi bintang sebagai hasil ledakan besar pasca terjadinya tabrakan.
Dan siapa sangka, Alquran telah mengisyaratkan teori starburst jauh sebelum manusia mengobservasi dan mempelajari galaksi di luar angkasa. Allah SWT berfirman dalam pembuka Surat At-Takwir:
"Apabila matahari digulung" (At-Takwir: 1)
Pada suatu saat nanti, bintang-bintang yang bercahaya, termasuk matahari sebagai bintang yang memiliki cahaya sendiri, akan redup sinarnya. Bintang-bintang tersebut akan digulung. Maka saat itulah, kiamat akan terjadi.
Terlepas padamnya cahaya matahari dan bintang lainnya sebagai tanda datangnya kiamat, yang jelas, ayat di atas juga menerangkan tentang adanya suatu bintang yang telah digulung oleh Allah. Kata Kuwwirat كُوِّرَتْ adalah kata kerja dalam bentuk madhi (past tense), yang berarti telah, sudah, dan lewat. Jadi, ada matahari atau bintang yang telah digulung oleh Allah SWT. Tentang bintang yang cahaya digulung ini mari dilihat penjelasan ilmiahnya.
Bintang diciptakan dalam galaksi dari cadangan gas dingin yang berbentuk awan molekul raksasa. Galaksi-galaksi yang membentuk bintang dengan laju yang luar biasa dikenal sebagai galaksi starburst. Namun galaksi-galaksi yang demikian akan memakan habis cadangan gasnya dalam rentang waktu yang jauh lebih pendek dari umur galaksi itu sendiri. Karena itu, aktivitas pembentukan bintang biasanya hanya berlangsung selama sekitar 10 juta tahun; sebuah jangka waktu yang relatif pendek dalam sejarah hidup sebuah galaksi. Galaksi starburst lebih sering dijumpai dalam masa-masa awal alam semesta, dan saat ini masih menyumbang sebesar sekitar 15% dari total laju pembentukan bintang.
Galaksi starburst ditandai oleh adanya konsentrasi gas penuh debu dan ke-munculan bintang-bintang yang baru dibentuk, termasuk bintang-bintang masif yang mengionisasi awan-awan molekul di sekitarnya dan membentuk wilayah-wilayah H II. Bintang-bintang masif ini menghasilkan ledakan supernova, yang mengakibatkan menyebarnya sisa-sisa supernova dan berinteraksi dengan kuat dengan gas-gas di sekitarnya. Hal ini memicu reaksi berantai pembentukan bintang yang menyebar ke seluruh wilayah galaksi yang berisi gas. Hanya ketika gas yang tersedia sudah hampir habis atau menyebar, maka aktivitas pembentukan bintang berhenti.
Penjelasan lain dan sederhana adalah ketika galaksi-galaksi starburst bekerja sangat cepat memproduksi bintang, mereka juga menghasilkan ‘sampah’ saat membentuk bintang-bintang baru. Sampah ini lalu ditelan begitu saja oleh ‘monster-monster ruang angkasa’ yang ada di pusat galaksi dan dikenal sebagai lubang hitam supermasif. Lalu terjadi semburan energi yang sangat kuat (jet), yang bisa melontarkan atau bahkan menghancurkan bahan-bahan yang diperlukan galaksi untuk memproduksi lebih banyak bintang. Jadi, terhentilah starburst. “Jadi, masa-masa kejayaan galaksi dalam pembentukan bintang secara cepat juga bisa menjadi kehancuran bagi mereka sendiri dengan memberi makan lubang hitam raksasa yang berada di pusat galaksi,” kata astronom David Alexander.
Galaksi starburst sering diasosiasikan dengan galaksi-galaksi yang sedang bergabung atau berinteraksi. Contoh dasar dari interaksi yang menghasilkan galaksi starburst adalah M82, yang tadinya berpapasan dengan galaksi M81 yang lebih besar. Galaksi tak beraturan sering kali memiliki titik-titik aktivitas pembentukan bintang yang tersebar
Orang-orang juga menerjemahkan
Hasil: 247, Waktu: 0.0242
Bahasa inggris - Bahasa indonesia
ALMA baru saja memetakan gas molekular di sebuah galaksi starburst kuno berusia yang jaraknya 12,4 miliar tahun cahaya. Itu artinya, galaksi ini masih sangat muda ketika cahaya yang kita terima saat ini mulai melakukan perjalanan.